Etu: Tradisi Tinju Adat, Budaya dan Identitas Lokal Nagekeo

Created at 2025-06-05

 

Boawae - Nagekeo, 5 Juni 2025– 

Tradisi tinju adat khas Nagekeo, yang dikenal dengan nama Etu, kembali digelar di Kampung Adat Boawae, kelurahan Natanage, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis, 5 Juni 2025. Etu merupakan salah satu ritual adat masyarakat Nagekeo yang menggambarkan uji kejantanan, sportivitas, dan persatuan antarwarga. 

Etu berasal dari bahasa lokal yang berarti tinju adat. Berbeda dari olahraga tinju konvensional, dalam Etu para petarung hanya diperbolehkan menggunakan satu tangan untuk memukul lawannya. Dalam Etu, tangan petarung dibalut dengan kepo, yaitu sarung tinju tradisional dari anyaman ijuk. Sementara tangan lainnya hanya berfungsi untuk menangkis serangan lawan. 

Tradisi ini merupakan bagian dari rangkaian upacara adat tahunan yang biasa digelar pada bulan Juni hingga Juli, selaras dengan siklus pertanian masyarakat setempat. Etu selalu dilaksanakan di depan sa’o waja (rumah adat) sebagai pusat budaya. Di tengah kampung, berdiri peo, simbol persatuan dari kelima suku besar Boawae: Deu, Tegu, Mudi, Kobajawa, dan Kisa Ola. Satu hari sebelum puncak acara, masyarakat mengadakan malam dero yang diisi dengan pertunjukan seni tari dan musik tradisional. Salah satu musik khas Nagekeo yang ditampilkan adalah toda gu, musik bambu yang dimainkan secara bersama-sama. Suasana menjadi semarak dengan kehadiran kelompok seni dari dalam maupun luar daerah. 

Kepala Dinas Pariwisata Kab. Nagekeo, Silvester Teda Sada, menyampaikan Festival Etu diharapkan tidak hanya menjadi tontonan budaya, tetapi juga menjadi jembatan untuk meningkatkan kapasitas dan sinergi antar pihak, termasuk dalam pengelolaan atraksi lain seperti pacuan kuda yang saat ini sedang  dipromosikan. 

“Melalui kegiatan ini, kami berharap Kabupaten Nagekeo bisa memiliki satu kalender promosi tahunan yang solid, terkoordinasi, dan berdampak luas terhadap pertumbuhan pariwisata dan ekonomi kreatif lokal. Etu merupakan festival yang bukan hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga menjadi pusat perkumpulan masyarakat dan sarana memperkuat kekerabatan. Ke depan, kami berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk BPOLBF, guna merancang dan menetapkan satu kalender promosi yang menyeluruh untuk Kabupaten Nagekeo. Ini penting untuk mengamplifikasi berbagai festival budaya serta mendukung peningkatan kapasitas pengelola atraksi, seperti pacuan kuda, yang kini sedang kami dorong sebagai bagian dari atraksi unggulan daerah.,’ Ujar Silvester. 

Pagelaran Etu tahun ini mempertemukan dua kubu utama: So’a dari Kabupaten Ngada dan Boawae dari Kabupaten Nagekeo. Masing-masing kubu mengirimkan petarung terbaik mereka untuk berlaga, diiringi sorak dan alunan musik semangat dari para pendukung. 

Dalam pelaksanaannya, Etu dipimpin oleh wasit adat yang disebut seka, dan dibantu oleh sike, yang bertugas menenangkan pertarungan jika terjadi kekerasan berlebihan. Selain itu, ada pula pai etu atau bobo etu, yang mengatur giliran peserta bertanding. Sementara mandor adat menjaga ketertiban di sekitar arena. 

Meski hanya dilakukan oleh kaum pria, perempuan juga turut berperan melalui nyanyian semangat yang disebut dio, menunjukkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam ritual adat ini. 

Di wilayah Tutu Badha–Rendu, Kecamatan Aesesa Selatan, Etu diawali dengan pertarungan simbolis antara dua saudara kandung dari salah satu keluarga di kampung, kemudian dilanjutkan oleh peserta lainnya. Hari pertama dikenal dengan etu coo (atau mbela loe) untuk anak-anak, sedangkan hari kedua disebut etu meze (atau mbela mese) yang diikuti peserta dewasa dari berbagai daerah. Setiap pertarungan ditutup dengan pelukan antara petarung sebagai simbol perdamaian dan persaudaraan. Bertarung di luar arena sangat dilarang dan dianggap melanggar nilai adat. Masyarakat percaya bahwa luka dalam Etu adalah luka kehormatan, yang akan sembuh dengan restu kepala adat. 

Dalam kunjungannya pada perhelatan Etu atau Tinju Adat di Boawae, Nagekeo, Plt. Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Frans Teguh, menegaskan pentingnya menjadikan desa adat dan budaya sebagai fondasi utama dalam pengembangan pariwisata di wilayah Flores. 

"Kami di BPOLBF lebih mendorong agar desa-desa yang ada, khususnya seperti desa-desa adat, dikembangkan terlebih dahulu sebagai kampung budaya atau kampung adat. Nilai wisata itu datang sebagai nilai tambah, bukan sebagai tujuan utama. Pendekatan ini penting agar pengembangan desa tidak semata-mata berorientasi pada wisata, tetapi berakar kuat pada budaya dan identitas lokal,” ungkap Frans. 

Menurut Frans, kalender adat menjadi instrumen penting yang bisa dijadikan panduan dalam merancang aktivitas-aktivitas wisata budaya. Keberadaan kalender ini akan memastikan bahwa kegiatan pariwisata berjalan selaras dengan siklus adat dan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini sangat relevan dengan pelaksanaan Etu, yang bukan hanya menjadi atraksi budaya, tetapi juga ritual sakral yang memiliki kedalaman makna bagi masyarakat Boawae. 

Lebih lanjut, Ia menekankan pentingnya pelibatan generasi muda dalam pelestarian budaya. 

“Anak-anak muda harus mulai diedukasi tentang pentingnya adat dan budaya mereka. Ketika seseorang mengenakan pakaian adat, ada aura dan kebanggaan tersendiri yang muncul. Ini bukan sekadar pertunjukan atau kompetisi, tetapi sebuah pengalaman budaya yang autentik dan bermakna,” tambah Frans. 

Frans juga membagikan visinya tentang pengalaman wisata budaya yang lebih hidup dan berkesan. Ia mencontohkan bagaimana wisatawan yang berkunjung ke kampung adat bisa mengenakan pakaian adat seperti kain dan desta (ikat kepala) sebagai bagian dari paket wisata. Dari sekadar pinjaman, pakaian tersebut kemudian dapat disewa, bahkan dibeli sebagai oleh-oleh. Konsep ini tidak hanya mengangkat nilai ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga memperkuat citra budaya dalam setiap interaksi wisata. 

Momentum Etu di Boawae menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal dan tradisi adat memiliki daya tarik tersendiri yang dapat dikembangkan sebagai pilar utama dalam strategi pariwisata berkelanjutan dan berbudaya. Dengan digelarnya Etu tahun ini, masyarakat Boawae kembali menegaskan komitmennya dalam melestarikan tradisi leluhur sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. 

 

--------

Sisilia Lenita Jemana

Kepala Divisi Komunikasi Publik

Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores

thumbnail

Perkuat Kolaborasi Lintas Sektor, BPOLBF Kembali Gelar Forum Stakeholder Pariwisata Labuan Bajo

  Labuan Bajo, 18 Juni 2025-  Dalam rangka memperkuat sinergi dan koordinasi lintas sektor dalam pengelolaan dan pengembangan destinasi pariwisata Labuan Bajo...

thumbnail

JELAJAH GASTRONOMI LOKAL NTT; Potensi Gastronomi NTT Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan

  Labuan Bajo, 16 Juni 2025-  Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) terus mendorong pengembangan sektor pariwisata yang berbasis pada potensi lo...

thumbnail

Exclusive Post-Tour Experience, Peserta BBTF Lakukan Green Action di Parapuar

  Labuan Bajo, 14 Juni 2025 -  Para Buyers (pembeli) dalam Bali & Beyond Travel Fair (BBTF) 2025 tiba di Labuan Bajo pada Sabtu, (14/06/2025) pagi. Kedata...

Ada pertanyaan ?

Lihat FAQ ? atau Hubungi Kami