Manulondo: Jejak Film Pertama di Indonesia dan Sentra Tenun Ikat dalam Balutan Toleransi

Created at 2024-10-12

Ende, 12 Oktober 2024- 

Ende adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini juga sering dijuluki sebagai “Kota Pancasila”, karena di kota inilah, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno merumuskan dasar yang menjadi ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila saat masa pengasingannya di era pendudukan Belanda. Tidak hanya tentang sejarah lahirnya Pancasila, Ende juga terkenal akan destinasi wisatanya yang menawan. Mulai dari Danau Tiga Warna Kelimutu, museum, perbukitan, pantai, hingga desa wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi termasuk potensi lainnya seperti kerajinan tenun dan sumber daya alamnya.

Salah satu desa yang cukup menarik perhatian adalah Desa Manulondo. Desa ini merupakan salah satu desa di Kecamatan Ndona yang terletak sekitar 5 Km dari pusat Kota Ende. Sebelum terbentuk menjadi desa tersendiri, desa ini merupakan pusat pemerintahan Desa Onelako. Namun seiring berjalannya waktu dan tuntutan perubahan dan pendekatan pelayanan, pada tahun 1996 terjadi pemekaran wilayah dari Desa Onelako menjadi tiga wilayah yaitu Kelurahan Onelako, Desa Manulondo dan Desa Nanganesa.

Hal lain menarik lainnya selain tenun, yang tidak banyak orang tau adalah, di Kampung Nuanelu/Nualolo, Desa Manulondo merupakan tempat pembuatan film pertama di Indonesia. Film bisu bertema kawin paksa tersebut berjudul “Ria Rago: De Heldin And Het Ndona-Dal” besutan para missionaris SVD Belanda ini diperankan oleh Ria Rago sendiri yang diproduksi pada tahun 1923 dan dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company.

Di desa Manulondo ini jugalah kita bisa menemukan situs makan Ria Rago yang merupakan pemeran utama film tersebut. Film Ria Rago sendiri saat ini sedang dalam proses pembuatan kembali dengan judul yang sama yaitu "Ria Ragho Reborn".

Plt. Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Frans Teguh saat mengunjungi Desa Manulondo menyampaikan, pengembangan ekraf desa seperti tenun ikat merupakan sarana untuk menyimpan cerita dan nilai masyarakat. 

"Desa Manulondo dengan tenun ikatnya adalah contoh bagaimana tradisi dan kreativitas dapat bersatu untuk menciptakan nilai. Tenun ikat tidak hanya menghasilkan kain yang indah, tetapi juga menyimpan cerita, nilai, dan identitas masyarakat setempat. Dengan melestarikan dan mempromosikan tenun ikat, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memberdayakan komunitas lokal secara ekonomi. Kami berharap, ke depan, Desa Manulondo dapat menjadi destinasi wisata yang menarik, yang mengundang pengunjung untuk merasakan langsung kekayaan budaya dan keindahan tenun ikat yang luar biasa," ungkap Frans.

Selain itu, sejarah perfilman Indonesia yang dikandung Desa Manulando harus menjadi narasi kuat bagaimana sejarah masa lalu kehidupan masyarakat Ende yang bisa dikemas menjadi produk wisata desa Manulondo.

"Ini hal menarik karena Manulondo, selain penghasil tenun ikat ternyata merupakan cikal bakal perfilman Indonesia. Ini sebenarnya adalah nilai tambah desa ini jika dikemas dengan baik narasi dan situs sejarahnya bisa memberi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung lebih lama disini", tegas Frans.

Sekretaris Dinas Pariwisata Ende, Habentius R. Mau saat dalam kunjungan yang sama juga menyatakan bahwa Dinas Pariwisata Ende terus mengoptimalkan potensi yang ada di Desa Manulondo melalui pendampingan dan pembinaan.

"Upaya Dinas Pariwisata dalam mengoptimalkan potensi yang ada melalui pendampingan, pembinaan, dan promosi dalam berbagai bentuk seperti melibatkan para pelaku usaha pariwisata dan ekraf dalam berbagai kegiatan pelatihan, bimtek. Pelatihan yang pernah diikuti pemandu wisata, kuliner, desa wisata, serta melibatkan pelaku ekraf seperti tenun ikat, kuliner, dan produk kreatif lainnya dalam pameran-pameran dan serta mengikutsertakan kelompok sanggar dalam pentas seni budaya serta promosi melalui media sosial" jelas Habentius.

Ia juga melanjutkan bahwa Dinas Pariwisata Kabupaten Ende juga selalu membuka diri untuk berkolaborasi dengan stakeholder lain seperti Lembaga Keagamaan, BUMN/ BUMD, Pihak swasta dan juga terus melakukan konsultasi atau koordinasi baik dengan pihak BPOLBF, Dinas Pariwisata Provinsi NTT maupun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Desa Manulondo sendiri memiliki tenun ikat Manulondo yang menjadi kerajinan primadona yang menghidupkan sektor ekonomi kreatif desa. Karya tenun ikat merupakan produk khas masyarakat Desa Manulondo dan menjadi ikon desa ini. Tenun ikat dari desa ini terkenal dengan proses dan pewarnaan yang alami seperti menggunakan kemiri dan akar tumbuhan mengkudu, sehingga wisatawan lokal maupun mancanegara banyak yang memburu tenun ikat tradisional produksi warga Desa Manulondo. Banyak wisatawan yang datang untuk sekadar melihat dan meneliti proses pembuatan tenun ikat sambil menikmati pemandangan alam di Desa Manulondo.

Desa ini juga memiliki kelompok penenun ikat yang memiliki beberapa fungsi penting untuk generasi yang akan datang seperti pelestarian budaya, pemberdayaan ekonomi, pengembangan keterampilan, kesadaran lingkungan, identitas dan kebanggaan, inovasi dan kreasi. Melalui fungsi-fungsi ini, kelompok tenun ikat dapat berkontribusi pada keberlangsungan budaya dan ekonomi masyarakat di masa depan. 

Selain itu, di desa ini juga terdapat produk ekonomi kreatif lainnya seperti Kripik Weluwini, kripik yang diproduksi oleh usaha kelompok ibu-ibu rumah tangga di desa Manulando, kecamatan Ndona, kabupaten Ende. Bahan dasar pembuatan kripik ini adalah pisang dan ubi-ubian yang dihasilkan dari daerah setempat, terutama dari kebun-kebun petani lokal.

Desa Manulondo juga sudah diinventarisir sebagai desa yang memiliki potensi wisata yang kuat baik alam seperti view yang menarik karena terletak di ketinggian dan udara yang sejuk dan segar, potensi budaya dengan kearifan lokal dan seremoni adat Pire Te'u dan Joka Moka Goro Fata (salah satu upacara adat besar di Ende) dan minat khusus sebagai jalur trekking dan hikking. Selain itu Manulondo juga dikenal sebagai Kampung Pancasila di mana kehidupan masyarakat yang plural tetapi berdamai, bergotong royong secara khusus dalam hubungan antara masyarakat mayoritas Katolik dan minoritas Islam. Hidup berdampingan secara damai. 

Untuk mencapai Desa Manulondo wisatawan dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun  empat dan jalur yang dilewati juga cukup lancar. Letaknya juga strategis karena dengan pusat Kota Ende dan Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende. Di desa ini juga, wisatawan dapat melihat Rumah Adat yang masih asli dan ditempati hingga saat ini. Rumah ada ini  tidak hanya mencerminkan keindahan arsitektur, tetapi juga menjadi simbol identitas dan warisan budaya masyarakat Ende.

 

 

---------

Sisilia Lenita Jemana

Kepala Divisi Komunikasi Publik

Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores

thumbnail

Bahasa Isyarat Indonesia, Langkah Pengembangan Pariwisata Inklusif di Labuan Bajo Flores

  Labuan Bajo, 19 September 2024-  Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) berkolaborasi dengan Komunitas Belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISIND...

thumbnail

Wana Rhapsodya: Event Musik di Tengah Keindahan Alam Parapuar

  Labuan Bajo, 18 Oktober 2024- Dalam rangka meningkatkan brand awareness Parapuar dan menciptakan event baru di Labuan Bajo, Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kre...

thumbnail

Festival Lamaholot: Jembatan Melestarikan Budaya dan Persaudaraan

  Labuan Bajo, 17 Oktober 2024-  Festival Lamaholot kembali digelar di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Festival Lamaholot sendiri merupakan salah satu fes...

Ada pertanyaan ?

Lihat FAQ ? atau Hubungi Kami